SEMUA ARTIKEL

SEMUA ARTIKEL

Mengenal Alexis Stenfors, Si Rogue Trader dalam Skandal valas di Bank Nasional Scotland

Story by : Hadi J
Category at: Psikologi
Published : July 06, 2023
Dilihat: 763 kali

Hadi adalah penasihat perdagangan di pasar berjangka sebagai pedagang valas dan komoditas. Sebagai seorang trader scalper, Dia menggunakan strategi Trendline dan Indikator Aligator untuk trading. Dia akan membantu Anda mempelajari cara menghasilkan uang dari 'zero' menjadi 'hero'.


zoom

Stenfors Stenfors dilabeli sebagai rogue trader. Dalam dunia trading, istilah rogue trader hanya disematkan bagi trader yang melakukan transaksi secara ilegal, melanggar peraturan, secara sembunyi-sembunyi, dan tanpa sepengetahuan perusahaan, dan tetapi merugi. Namun, jika ternyata trader tersebut menang atau menguntungkan pemilik dana, maka dia tidak akan disebut rogue trader.

Siapa itu Alexis Stenfors? 

Alexis Stenfors adalah seorang ekonom, penulis, dan mantan trader. Ia terkenal karena perannya dalam skandal valas yang terjadi pada tahun 2009 di Bank Nasional Skotlandia (RBS). Stenfors bekerja sebagai trader valas di RBS dan terlibat dalam praktik perdagangan yang tidak sesuai dengan aturan perbankan.

Pada tahun 2010, Stenfors dikeluarkan dari RBS karena pelanggaran yang dilakukannya. Setelah meninggalkan dunia perbankan, ia menulis buku berjudul "Barometer of Fear: An Insider's Account of Rogue Trading and the Greatest Banking Scandal in History" pada tahun 2017. Buku tersebut memberikan pandangan mendalam tentang praktik perdagangan yang salah di RBS dan dampaknya terhadap keuangan global.

Alexis Stenfors juga merupakan seorang pendidik. Ia telah mengajar di beberapa universitas terkemuka, termasuk Universitas Oxford dan Universitas Uppsala. Sebagai seorang pengarang dan narasumber, Stenfors memberikan wawasan tentang etika perdagangan, risiko keuangan, dan manajemen risiko kepada para profesional dan mahasiswa di bidang keuangan.

Perjalanan karier dan pengalaman Alexis Stenfors menjadi sebuah pelajaran tentang pentingnya integritas dan kepatuhan dalam industri keuangan. Ia menjadi contoh kasus yang menyoroti pentingnya pengawasan yang ketat dan kebijakan yang transparan dalam dunia perbankan dan perdagangan.

Skandal valas di Bank Nasional Scotland (RBS) 

Pada tahun 2009, Bank Nasional Scotland (RBS) terlibat dalam beberapa skandal valas yang signifikan yang menyebabkan kerugian yang besar dan mengguncang dunia keuangan. Berikut adalah beberapa skandal yang terkait dengan RBS pada tahun tersebut:

Skandal Manipulasi Suku Bunga LIBOR:

RBS menjadi salah satu bank yang terlibat dalam skandal manipulasi suku bunga LIBOR (London Interbank Offered Rate). LIBOR adalah acuan suku bunga global yang digunakan dalam berbagai transaksi keuangan. RBS diduga telah memanipulasi suku bunga LIBOR untuk keuntungan mereka sendiri. Praktik ini melibatkan para trader di bank tersebut memberikan informasi palsu atau memengaruhi proses penentuan suku bunga LIBOR, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pasar secara keseluruhan.

Skandal Perdagangan Valas yang Salah (Forex):

RBS juga terlibat dalam skandal perdagangan valas yang salah pada tahun 2009. Para trader di bank tersebut diduga terlibat dalam praktik yang tidak sesuai dengan aturan dan etika perdagangan, termasuk melakukan manipulasi harga dan kolusi dengan para peserta lain di pasar valas. Praktik semacam ini dapat merugikan nasabah dan merusak integritas pasar.

Kebangkrutan Lehman Brothers:

Meskipun bukan skandal yang langsung terkait dengan RBS, kebangkrutan Lehman Brothers pada tahun 2008 memiliki dampak yang signifikan terhadap RBS. RBS menjadi salah satu bank yang menderita kerugian besar akibat keterlibatannya dalam perdagangan dan eksposur terhadap instrumen keuangan yang terkait dengan Lehman Brothers. Kehilangan tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan RBS mengalami tekanan keuangan yang serius.

Skandal-skandal ini mengungkapkan kurangnya kepatuhan dan praktek yang tidak etis di dalam RBS. Mereka menjadi sorotan publik dan menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi bank tersebut, serta menimbulkan keraguan terhadap integritas dan transparansi industri perbankan secara keseluruhan.


Artikel Terkait